Seri Wastra Nusantara – Karawo Kain Sulaman Khas Gorontalo
Karawo atau Kerawang tidak asing bagi saya, Oma selalu menggunakan sapu tangan karawo atau kami lebih sering menyebutnya sebagai kerawang, saya sendiri memiliki beberapa pakaian dengan motif kerawang. Wastra tradisional ini sudah ditentukan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi

Kain karawo dibuat dengan teknik sulam dan dikerjakan pada selembar kain dengan menggunakan benang polos maupun warna-warni. Kain tersebut diiris dan dicabut benangnya untuk kemudian disulam menurut motif yang sudah dirancang sebelumnya. Pembuatan karawo dilakukan secara manual sehingga untuk penyelesaiannya butuh waktu lama dan dilakukan oleh paling tidak tiga orang, perancang pola dan motif, pengurai benang dan penyulam, semakin rumit pola/motif yang diinginkan, semakin lama pengerjaannya.
Karawo dalam bahasa Gorontalo berarti sulaman dengan tangan, tapi jangan dibayangkan sulaman ini dibuat seperti teknik sulam atau bordir yang biasa kita jumpai. Mokarawo atau seni pembuatan karawo diawali dengan membuat rancangan gambar sesuai peruntukan kain, untuk busana misalnya, perancangnya sendiri sudah membayangkan bagaimana busana yang dibuat dengan kain karawo, di bagian mana letak sulaman karawo tersebut, misalnya bagian kerah, bagian dada atau di bagian bawah. Setelah itu dilakukan tahap pengirisan dan cabut benang sesuai dengan pola dan motif yang sudah dibuat, ini adalah tahap yang penting, karena salah sedikit saja dapat merusak seluruh kain. Ketajaman dan kecermatan menghitung benang yang akan diiris dan dicabut, menentukan kehalusan sulaman, bayangkan saja bagaimana mengiris dan menghitung helai-helai benang pada kain sebelum disulam agar motif yang dirancang berada tepat pada tempatnya. harus teliti agar sulaman yang dihasilkan halus dan menyatu dengan kainnya. Setelah itu dilanjutkan dengan proses menyulam. Karawo mengenal dua tehnik sulam, yaitu sulam dengan jarum dan aneka warna benang dan sulaman karawo ikat.
Seni Mokarawo diturunkan dari generasi ke generasi sejak masa Kerajaan Gorontalo masih berjaya sejak tahun 1600an. Saat Belanda berkuasa di wilayah ini, berbagai tradisi dan identitas lokal dilarang karena adat, tradisi dan identitas lokal merupakan kekuatan masyarakat lokal. Hal ini berdampak pula pada seni Mokarawo, namun kaum perempuan Goronta;p yang tidak ingin tradisi ini hilang, secara diam-diam terus mengerjakan seni ini.

Selama penjajahan Belanda, Mokarawo dilakukan di dalam ruang tersembunyi, baru pada tahun 1960-an produk ini mulai diperdagangkan berdasarkan pesanan. Saat ini karawo umumnya dilakukan oleh ibu rumah tangga yang menyebar di seluruh wilayah Gorontalo, rumitnya proses pembuatannya membuat kurangnya minat generasi muda untuk menekuni seni Mokarowo, sehingga perlu upaya-upaya untuk melestarikan kebudayaan ini agar tidak hilang ditelan masa.
Ditulis oleh Pingkan MD
Sumber:
https://lokadata.id/artikel/karawo-kain-tenun-gorontalo
https://id.m.wikipedia.org/wiki/karawo